Jumat, 25 Juli 2025

Saat Kita Nyaris Jadi



 “Saat Kita Nyaris Jadi”


Cerita pendek oleh Rozi



---

Pembuka


Kita pernah jadi dua orang yang saling memperhatikan diam-diam.

Bukan karena takut, tapi karena terlalu banyak hal yang belum sempat dikatakan.

Dan entah kenapa, semuanya terasa begitu dekat…

Tapi nyatanya, kita hanya sampai di titik “nyaris”.



---


Bagian 1 – Awal yang Tak Disengaja


Aku masih ingat pertama kali kamu duduk di bangku depan kelas waktu itu.

Bukan karena kamu minta, tapi karena bangku belakang penuh.

Dan sejak saat itu, entah kenapa mataku jadi sering nyari kamu tiap kali masuk kelas.


Waktu itu kita belum saling bicara.

Paling hanya sapa basa-basi, tanya tugas, atau numpang tanya nomor absen.


Tapi, dari obrolan-obrolan sederhana itu, aku mulai suka senyummu.

Senyum yang kadang hadir tanpa alasan.

Senyum yang diam-diam aku tunggu setiap hari.



---


Bagian 2 – Chat yang Gak Pernah Habis


Anehnya, kita gak pernah akrab di dunia nyata.

Tapi saat online, kita jadi dua orang yang paling banyak ngobrol.


Kita bahas apa aja—dari tugas kuliah, lagu favorit, bahkan hal-hal absurd kayak

“lebih enak makan mi instan pakai nasi atau enggak?”

Dan dari semua itu, ada rasa nyaman yang gak bisa dijelasin.


Tiap kali notif dari kamu muncul, ada senyum kecil yang gak bisa ditahan.

Dan tiap malam jadi terasa kurang kalau belum saling pamit tidur.



---


Bagian 3 – Nyaman, Tapi Gak Punya Nama


Kita gak pernah pacaran.

Tapi kamu satu-satunya orang yang aku tunggu tiap hari.


Aku tahu kamu juga ngerasa nyaman.

Tapi entah kenapa, gak ada yang berani bilang: “kita ini apa?”


Mungkin karena takut merusak yang udah ada.

Atau mungkin, kita terlalu nyaman dalam ketidakpastian.



---


Bagian 4 – Hari Itu Datang Juga


Sampai akhirnya…

Kamu mulai jarang balas chat.

Mulai sering bilang sibuk, mulai jarang muncul di timeline.


Dan aku tahu, ada seseorang baru di hidupmu.


Bukan karena kamu bilang.

Tapi karena cara kamu menyapa sudah gak sama.

Dan itu cukup buat aku tahu…

Kita udah gak lagi seperti dulu.



---


Bagian 5 – Akhir yang Gak Pernah Kita Bahas


Kita gak pernah benar-benar selesai.

Karena kita bahkan gak pernah benar-benar mulai.


Tapi aku bersyukur pernah kenal kamu.

Pernah ngerasain deg-degan tiap baca pesan darimu.

Pernah jadi “orang yang kamu ingat sebelum tidur”.


Dan meski akhirnya kita cuma nyaris…

Aku tetap anggap kamu bagian paling manis dari kisah yang gak jadi.



---


Tentang Penulis


Rozi adalah penulis yang gemar menyampaikan perasaan lewat kata-kata.

Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari proyek berbagi kisah pendek romantis,

yang bisa dinikmati siapa pun yang pernah jatuh cinta diam-diam.


Kunjungi blog: https://myblogrozi.blogspot.com



---


Catatan Akhir


Jika kamu suka cerita ini, bantu sebarkan.

Mungkin ada seseorang di luar sana yang sedang membaca ini,

dan tiba-tiba… teringat seseorang yang dulu juga cuma “nyaris”.

Label:

Tantangan Pendidikan di Era Digital

Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dunia pendidikan. Saat ini, proses belajar mengajar tidak lagi terbatas pada ruang kelas fisik. Berkat internet dan perangkat digital, pembelajaran bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Namun, di balik kemudahan ini, terdapat sejumlah tantangan yang perlu disikapi secara serius agar pendidikan di era digital bisa berjalan efektif dan merata, Antara lain:


1. Kesenjangan Akses Teknologi


Tidak semua siswa memiliki akses yang sama terhadap teknologi. Masih banyak daerah di Indonesia, terutama di wilayah pelosok, yang belum memiliki jaringan internet yang stabil atau bahkan belum terjangkau sama sekali. Selain itu, tidak semua keluarga mampu menyediakan perangkat belajar seperti laptop, tablet, atau ponsel pintar untuk anak-anak mereka. Hal ini menyebabkan ketimpangan dalam kesempatan belajar, yang pada akhirnya bisa memperlebar kesenjangan pendidikan antarwilayah dan antarkelompok sosial.


2. Kurangnya Literasi Digital


Memiliki akses terhadap teknologi bukan berarti seseorang langsung paham cara menggunakannya secara bijak. Banyak siswa (dan bahkan guru) yang masih memiliki literasi digital rendah. Mereka mungkin bisa menggunakan aplikasi pembelajaran, tetapi belum tentu mampu memilah informasi yang benar dan terpercaya di internet. Belum lagi masalah etika digital, seperti plagiarisme, penyalahgunaan media sosial, atau tidak menghargai privasi orang lain di ruang digital.


3. Perubahan Peran Guru


Di era digital, peran guru berubah dari satu-satunya sumber pengetahuan menjadi fasilitator dan pembimbing dalam proses belajar. Hal ini menuntut guru untuk lebih kreatif dan adaptif terhadap teknologi. Sayangnya, tidak semua guru mendapatkan pelatihan yang memadai dalam hal ini. Banyak guru yang masih kesulitan menggunakan platform pembelajaran daring atau membuat materi ajar digital yang menarik dan interaktif.


4. Menurunnya Interaksi Sosial


Pembelajaran daring yang terlalu lama dapat mengurangi interaksi sosial antar siswa maupun antara siswa dan guru. Padahal, interaksi tersebut sangat penting dalam pembentukan karakter, pengembangan empati, dan keterampilan komunikasi. Ketika siswa terlalu sering belajar sendirian di depan layar, mereka bisa merasa terisolasi dan mengalami kejenuhan atau bahkan stres.


5. Distraksi dan Manajemen Waktu


Di tengah kemudahan akses informasi, muncul juga tantangan berupa distraksi digital. Siswa mudah terdistraksi oleh media sosial, game online, atau konten hiburan lainnya saat belajar. Hal ini membuat mereka kesulitan dalam mengatur waktu dan fokus. Tanpa pengawasan yang baik dari orang tua dan guru, proses belajar bisa menjadi tidak efektif.


6. Tantangan Evaluasi dan Kejujuran Akademik


Evaluasi pembelajaran secara daring juga menjadi tantangan tersendiri. Guru kesulitan memastikan bahwa ujian atau tugas dikerjakan secara jujur oleh siswa. Maraknya praktik mencontek, berbagi jawaban, atau menggunakan bantuan aplikasi tertentu dalam mengerjakan soal membuat nilai akademik tidak selalu mencerminkan kemampuan siswa yang sebenarnya.

Penutup


Pendidikan di era digital menawarkan banyak peluang, namun juga diiringi dengan berbagai tantangan yang kompleks. Untuk menjawab tantangan ini, dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak: pemerintah harus memperluas akses internet dan memberikan pelatihan teknologi bagi guru; sekolah perlu beradaptasi dengan model pembelajaran baru; orang tua harus lebih terlibat dalam mendampingi anak saat belajar di rumah; dan siswa sendiri harus belajar bertanggung jawab atas proses belajarnya.


Transformasi digital dalam pendidikan adalah keniscayaan. Namun, kita harus memastikan bahwa transformasi ini berjalan inklusif, adil, dan tetap menempatkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai inti dari proses belajar.

Label: ,

MyBlogRozi

Catatan, cerita, dan inspirasi hidup